作词 : Amien Kamil 作曲 : Yoko Nomura, Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, sambil menghisap cerutu lokal diantara lalu lalang orang disekitar x dan y. Di perempatan z ia selalu berhenti sebentar, ikat tali sepatu sambil bersiul; iramanya bagai erang elang malam bicara pada bintang yang tertutup awan hitam. Tiada yang tahu dari mana ia berasal, mungkin karena kulitnya kuning langsat, lantas ada yang menyebutnya dari Mongolia. Tapi ada juga yang bilang ia dari Cina. Dibalik kacamata bundar, terlihat mata sipit dan tatapan matanya yang teduh. Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, saat jarum jam menjelang senja beranjak mengunyah malam. Ia kadang mampir di kedai anggur murahan. Senyum mengembang, duduk sebentar menghirup satu dua sloki sekedar penghangat badan. Kami saling bertegur sapa, sambil dijabat tanganku ia sebut namanya 'Pao'. Trem melintas, orang-orang bergegas.  Kami saling terpaku tak beranjak dari bangku.  3 Lampu–lampu jalan menyala.  Pedagang asongan, kaki lima tumpah di trotoar jalan raya.  Pedagang cinta saling tukar cerita dan bergerombol  di telepon umum atau pangkalan taxi argo kuda. Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, raut wajahnya memancarkan aura bayi. Pernah suatu ketika, kucoba mengorek riwayat dirinya. Ia tundukkan kepala cukup lama, ditariknya nafas satu-satu, mendesah dan dengan suara terbata ia bicara “Dengan perahu kecil yang mesinnya seringkali kehabisan amunisi, kami arungi samudera mencari suaka. Beberapa hari perut keroncongan, perahu oleng ditengah badai hujan, terombang-ambing tak tentu tujuan lantas pecah dibeberapa bagian. Sempat bersama imigran lainnya aku terkatung di tengah samudera, dihempas ombak hingga terdampar di sebuah pantai selatan, diselamatkan para nelayan.” Angin menggoyangkan dedaunan. “Entah, bencana atau keberuntungan. Berbilang bulan kami tinggal di kampung nelayan. Aku, satu dari beribu kepala yang tinggalkan tanah kelahiran tuk raih impian menuju tanah yang dijanjikan tinggalkan ladang pembantaian”. Ujar Pao. Kucoba tatap matanya dan memasuki relung hatinya. Rindu kampung halaman terbayang, sebongkah harapan ingin diraih dan sebagian masa lalunya dibiarkan jadi debu dan lenyap ditelan waktu.