歌曲 | Ribuan Kilometer Menjelajahi Tubuh |
歌手 | Amien Kamil |
专辑 | Catastrophe 1965 |
下载 | Image LRC TXT |
作词 : Amien Kamil | |
作曲 : Yoko Nomura, | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, sambil menghisap cerutu lokal diantara | |
lalu lalang orang disekitar x dan y. Di perempatan z ia selalu berhenti sebentar, ikat tali | |
sepatu sambil bersiul; iramanya bagai erang elang malam bicara pada bintang yang tertutup | |
awan hitam. | |
Tiada yang tahu dari mana ia berasal, mungkin karena kulitnya kuning langsat, lantas ada | |
yang menyebutnya dari Mongolia. Tapi ada juga yang bilang ia dari Cina. Dibalik kacamata | |
bundar, terlihat mata sipit dan tatapan matanya yang teduh. | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, saat jarum jam menjelang senja beranjak | |
mengunyah malam. Ia kadang mampir di kedai anggur murahan. Senyum mengembang, | |
duduk sebentar menghirup satu dua sloki sekedar penghangat badan. Kami saling bertegur | |
sapa, sambil dijabat tanganku ia sebut namanya 'Pao'. | |
Trem melintas, orang-orang bergegas. | |
Kami saling terpaku tak beranjak dari bangku. | |
3 | |
Lampu–lampu jalan menyala. | |
Pedagang asongan, kaki lima tumpah di trotoar jalan raya. | |
Pedagang cinta saling tukar cerita dan bergerombol | |
di telepon umum atau pangkalan taxi argo kuda. | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, raut wajahnya memancarkan aura bayi. | |
Pernah suatu ketika, kucoba mengorek riwayat dirinya. Ia tundukkan kepala cukup lama, | |
ditariknya nafas satu-satu, mendesah dan dengan suara terbata ia bicara “Dengan perahu | |
kecil yang mesinnya seringkali kehabisan amunisi, kami arungi samudera mencari suaka. | |
Beberapa hari perut keroncongan, perahu oleng ditengah badai hujan, terombang-ambing | |
tak tentu tujuan lantas pecah dibeberapa bagian. Sempat bersama imigran lainnya aku | |
terkatung di tengah samudera, dihempas ombak hingga terdampar di sebuah pantai selatan, | |
diselamatkan para nelayan.” | |
Angin menggoyangkan dedaunan. “Entah, bencana atau keberuntungan. Berbilang bulan | |
kami tinggal di kampung nelayan. Aku, satu dari beribu kepala yang tinggalkan tanah | |
kelahiran tuk raih impian menuju tanah yang dijanjikan tinggalkan ladang pembantaian”. Ujar | |
Pao. | |
Kucoba tatap matanya dan memasuki relung hatinya. Rindu kampung halaman terbayang, | |
sebongkah harapan ingin diraih dan sebagian masa lalunya dibiarkan jadi debu dan lenyap | |
ditelan waktu. |
zuo ci : Amien Kamil | |
zuo qu : Yoko Nomura, | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, sambil menghisap cerutu lokal diantara | |
lalu lalang orang disekitar x dan y. Di perempatan z ia selalu berhenti sebentar, ikat tali | |
sepatu sambil bersiul iramanya bagai erang elang malam bicara pada bintang yang tertutup | |
awan hitam. | |
Tiada yang tahu dari mana ia berasal, mungkin karena kulitnya kuning langsat, lantas ada | |
yang menyebutnya dari Mongolia. Tapi ada juga yang bilang ia dari Cina. Dibalik kacamata | |
bundar, terlihat mata sipit dan tatapan matanya yang teduh. | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, saat jarum jam menjelang senja beranjak | |
mengunyah malam. Ia kadang mampir di kedai anggur murahan. Senyum mengembang, | |
duduk sebentar menghirup satu dua sloki sekedar penghangat badan. Kami saling bertegur | |
sapa, sambil dijabat tanganku ia sebut namanya ' Pao'. | |
Trem melintas, orangorang bergegas. | |
Kami saling terpaku tak beranjak dari bangku. | |
3 | |
Lampu lampu jalan menyala. | |
Pedagang asongan, kaki lima tumpah di trotoar jalan raya. | |
Pedagang cinta saling tukar cerita dan bergerombol | |
di telepon umum atau pangkalan taxi argo kuda. | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, raut wajahnya memancarkan aura bayi. | |
Pernah suatu ketika, kucoba mengorek riwayat dirinya. Ia tundukkan kepala cukup lama, | |
ditariknya nafas satusatu, mendesah dan dengan suara terbata ia bicara " Dengan perahu | |
kecil yang mesinnya seringkali kehabisan amunisi, kami arungi samudera mencari suaka. | |
Beberapa hari perut keroncongan, perahu oleng ditengah badai hujan, terombangambing | |
tak tentu tujuan lantas pecah dibeberapa bagian. Sempat bersama imigran lainnya aku | |
terkatung di tengah samudera, dihempas ombak hingga terdampar di sebuah pantai selatan, | |
diselamatkan para nelayan." | |
Angin menggoyangkan dedaunan. " Entah, bencana atau keberuntungan. Berbilang bulan | |
kami tinggal di kampung nelayan. Aku, satu dari beribu kepala yang tinggalkan tanah | |
kelahiran tuk raih impian menuju tanah yang dijanjikan tinggalkan ladang pembantaian". Ujar | |
Pao. | |
Kucoba tatap matanya dan memasuki relung hatinya. Rindu kampung halaman terbayang, | |
sebongkah harapan ingin diraih dan sebagian masa lalunya dibiarkan jadi debu dan lenyap | |
ditelan waktu. |
zuò cí : Amien Kamil | |
zuò qǔ : Yoko Nomura, | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, sambil menghisap cerutu lokal diantara | |
lalu lalang orang disekitar x dan y. Di perempatan z ia selalu berhenti sebentar, ikat tali | |
sepatu sambil bersiul iramanya bagai erang elang malam bicara pada bintang yang tertutup | |
awan hitam. | |
Tiada yang tahu dari mana ia berasal, mungkin karena kulitnya kuning langsat, lantas ada | |
yang menyebutnya dari Mongolia. Tapi ada juga yang bilang ia dari Cina. Dibalik kacamata | |
bundar, terlihat mata sipit dan tatapan matanya yang teduh. | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, saat jarum jam menjelang senja beranjak | |
mengunyah malam. Ia kadang mampir di kedai anggur murahan. Senyum mengembang, | |
duduk sebentar menghirup satu dua sloki sekedar penghangat badan. Kami saling bertegur | |
sapa, sambil dijabat tanganku ia sebut namanya ' Pao'. | |
Trem melintas, orangorang bergegas. | |
Kami saling terpaku tak beranjak dari bangku. | |
3 | |
Lampu lampu jalan menyala. | |
Pedagang asongan, kaki lima tumpah di trotoar jalan raya. | |
Pedagang cinta saling tukar cerita dan bergerombol | |
di telepon umum atau pangkalan taxi argo kuda. | |
Ia seringkali melintas dengan mantel coklat pudar, raut wajahnya memancarkan aura bayi. | |
Pernah suatu ketika, kucoba mengorek riwayat dirinya. Ia tundukkan kepala cukup lama, | |
ditariknya nafas satusatu, mendesah dan dengan suara terbata ia bicara " Dengan perahu | |
kecil yang mesinnya seringkali kehabisan amunisi, kami arungi samudera mencari suaka. | |
Beberapa hari perut keroncongan, perahu oleng ditengah badai hujan, terombangambing | |
tak tentu tujuan lantas pecah dibeberapa bagian. Sempat bersama imigran lainnya aku | |
terkatung di tengah samudera, dihempas ombak hingga terdampar di sebuah pantai selatan, | |
diselamatkan para nelayan." | |
Angin menggoyangkan dedaunan. " Entah, bencana atau keberuntungan. Berbilang bulan | |
kami tinggal di kampung nelayan. Aku, satu dari beribu kepala yang tinggalkan tanah | |
kelahiran tuk raih impian menuju tanah yang dijanjikan tinggalkan ladang pembantaian". Ujar | |
Pao. | |
Kucoba tatap matanya dan memasuki relung hatinya. Rindu kampung halaman terbayang, | |
sebongkah harapan ingin diraih dan sebagian masa lalunya dibiarkan jadi debu dan lenyap | |
ditelan waktu. |